Belum lama ini, bentrokan antara massa pendukung Palestina dan ormas yang membawa bendera Israel di Bitung menuai sorotan publik.
Peristiwa ini sangat disayangkan. Pasalnya, perang Israel dan Hamas tersebut bukanlah perang agama keluaran sgp hari ini melainkan politik. Lebih utamanya, masyarakat seharusnya lebih fokus pada para warga sipil yang terdampak, alias mengutamakan kemanusiaan.
Ketua PBNU, Gus Yahya pada April lalu menegaskan, konflik antara Israel dan Palestina bukanlah sebuah perang berbasis agama, melainkan merupakan isu kemanusiaan. Pernyataan ini disampaikannya saat menjadi pembicara dalam Ramadan Forum yang berjudul “Building Peace Between Palestine and Israel, on the Basis of Sunni Islamic Jurisprudence for a Global Civilization” di Universitas Islam International Indonesia (UIII) Depok, Jawa Barat.
Menurut dia, persoalan antara Palestina dan Israel tidak boleh dipandang sebagai konflik agama semata antara Islam dan Yahudi. Pasalnya, masalah ini merupakan isu yang merugikan banyak pihak dan perlu dilihat sebagai perhatian bersama umat manusia.
Sebagai perwakilan dari komunitas Muslim terbesar di Indonesia, Gus Yahya menekankan bahwa Nahdlatul Ulama harus memberikan kontribusi nyata untuk menyelesaikan konflik yang telah berlangsung selama lebih dari 70 tahun. Sebagai organisasi Islam, Gus Yahya berpendapat bahwa Islam memiliki potensi untuk memberikan kontribusi positif dalam menangani masalah tersebut.
Petugas medis Mesir bersiap dengan mesin inkubator untuk menerima bayi prematur Palestina yang dievakuasi dari Gaza di perbatasan Rafah antara Mesir dan
Jika Islam tidak dapat berperan aktif dalam menyelesaikan konflik ini, hal tersebut akan menjadi pertanyaan tentang peran Islam sebagai agama yang seharusnya membawa kedamaian. Gus Yahya menegaskan bahwa Islam perlu memberikan jawaban konkret terhadap tantangan ini.
Hal serupa disampaikan Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Abdul Mu’ti. Dalam Forum Halaqah AWM Mingguan bertajuk “Rekonsiliasi Palestina-Israel: Perspektif Agama” pada Jumat (27/10/2023) lalu, Mu’ti menyatakan bahwa konflik berdarah antara Palestina dan Israel tidak dapat disederhanakan sebagai pertarungan antara Islam dan Yahudi secara hitam putih.
Dikutip dari laman resmi Muhammadiyah, data tahun 2022 lalu, di Israel, jumlah umat Islam mencapai 17%, sekitar 1,5 juta jiwa. Lebih lanjut, Mu’ti menekankan bahwa bangsa Palestina yang menjadi korban Zionisme melibatkan tidak hanya umat Muslim tetapi juga warga Palestina yang menganut agama Yahudi, Kristen, dan agama-agama tradisional seperti Druze.
Dengan demikian, jika konflik ini diartikan sebagai perang antara Islam dan Yahudi, hal tersebut dapat menyebabkan ketegangan di berbagai wilayah dunia, suatu hal yang tidak diinginkan.
“Selama ini saya melihat kecenderungan-kecenderungan yang ada di masyarakat itu kan lebih pada pemihakan secara 100 persen Hamas atau Palestina atau Israel dan saling menyalahkan satu sama lain,” kata dia.
Meskipun konflik tersebut terus berlangsung, Mu’ti meyakini bahwa masih ada peluang untuk menjalankan upaya rekonsiliasi dan perdamaian. Adanya berbagai inisiatif diplomasi kultural dari masyarakat sipil yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran persaudaraan antara umat Islam, Yahudi, dan Kristen membuatnya optimis terhadap kemungkinan penyelesaian konflik.
Contoh inisiatif seperti Common Ground, Kalimatun Sawa’, Son of Ibrahim, dan sejenisnya menjadi bukti nyata akan upaya tersebut.
“Bagaimana komunitas non-agama ini dapat berperan melalui jalur yang bersifat non-militer dan non-politik untuk membangun kerukunan di antara masyarakat yang beragam,” ungkap Mu’ti.
“Saya kira pemihakan yang paling mungkin adalah pemihakan kepada kebenaran yang memenuhi hukum-hukum internasional bahwa tidak boleh ada penyerangan pada masyarakat sipil, pada fasilitas publik walaupun dalam situasi perang dan itu adalah hal-hal yang saya kira perlu dilakukan bersama-sama dan solusi itu bisa dilakukan dengan cara-cara yang beradab, damai dan mengurangi sebisa mungkin ketegangan yang ada,” lanjut dia.