Dulu, burung hantu berfungsi sebagai penjaga kebun sawit
Burung hantu termasuk dalam kelompok Strigiformes yang terbagi dalam dua famili, yaitu Tytonidae dan Strigidae. Ciri khas dari Tytonidae adalah bentuk wajahnya yang menyerupai hati, sedangkan Strigidae memiliki wajah bulat.
Sebagai hewan nokturnal, burung hantu adalah karnivora yang menyukai berbagai mangsa, seperti ular, tupai, ikan, katak, kelinci, burung, dan mamalia kecil lainnya.
Menurut Owl Research Institute, terdapat sekitar 250 jenis burung hantu di seluruh dunia. Di Indonesia, diperkirakan ada 54 jenis burung hantu, dengan beberapa di antaranya bersifat endemik.
Dr. Ir. Swastiko Priyambodo, yang merupakan dosen dan peneliti di Laboratorium Vertebrata Hama Departemen Proteksi Tanaman Fakultas Pertanian di Institut Pertanian Bogor (IPB), mengungkapkan bahwa spesies Tyto alba pertama kali dideskripsikan oleh Giovani Scopoli pada tahun 1769.
Nama spesies “alba” merujuk pada warna bulu yang putih (Lewis, 2020).
Dalam bahasa Inggris, burung ini dikenal sebagai Barn-owl, sedangkan di Indonesia lebih akrab disebut Serak Jawa.
Serak Jawa memiliki morfologi besar dengan panjang 32-40 sentimeter, disertai warna bulu putih dan cokelat muda pada bagian sayap dan puncak kepala.
Ciri lainnya termasuk wajah berbentuk hati, kaki panjang dengan cakar, serta paruh berwarna putih kekuningan yang melengkung klik disini ke bawah. Penyebarannya hampir merata di seluruh benua, kecuali Antartika, dan di Eropa juga ditemukan berbagai subspesies Tyto alba.
Swastiko Priyambodo menjelaskan bahwa dari berbagai jenis burung hantu yang ada di Indonesia, hanya Tyto alba yang memiliki kontribusi signifikan dalam pengendalian hama tikus di sektor pertanian dan perkebunan.
Ia menjelaskan bahwa Tyto alba pertama kali berhasil dikembangkan di kebun sawit untuk mengendalikan tikus pohon (Rattus tiomanicus) sejak tahun 1980-an.
Saat ini, burung hantu ini banyak digunakan untuk mengendalikan tikus sawah (Rattus argentiventer) di area persawahan.
“Alhamdulillah, hasilnya sangat baik. Awalnya mungkin dikembangkan di Demak, tetapi kini sudah banyak kabupaten di Jawa yang memanfaatkan Tyto alba,” papar Swastiko, yang melakukan penelitian terkait Tyto alba di Kabupaten Subang dan Kabupaten Karawang.
Swastiko menjelaskan kelebihan pengendalian hayati (biological control) dengan Tyto alba yang bersifat kontinu, karena musuh alami tikus tersebut sudah mapan di daerah tersebut dan dapat menekan populasi tikus secara terus-menerus, sehingga tetap berada di bawah batas toleransi.
Selain itu, penggunaan burung hantu sebagai predator alami tikus tidak membahayakan lingkungan, karena tidak menggunakan bahan kimia berbahaya dan biaya pengelolaannya relatif rendah, karena proses ini berjalan dengan sendirinya, kecuali dalam hal pemantauan terhadap populasi predator.
“Walaupun masih banyak jenis burung hantu lainnya, namun peran ekologi mereka dalam sektor pertanian/perkebunan belum terlalu signifikan. Mengapa Tyto alba? Karena penyebarannya yang luas di seluruh dunia, memiliki spesialisasi dalam memangsa tikus, mudah dibudidayakan di sekitar habitat manusia, serta kemampuan berburu tikus yang sangat baik,” tutup Swastiko.