Peran Jerman Sebagai Mediator di Timur Tengah Terbatas
Yordania, Israel, Lebanon, Mesir: Menteri Luar Negeri Jerman Annalena Baerbock telah mengadakan pembicaraan krisis intensif di empat negara hanya dalam tiga hari. Tujuannya adalah untuk mencegah meluasnya perang Israel melawan Hamas, dan clickbet88 membantu mengurangi bencana kemanusiaan di Jalur Gaza.
Pada KTT Perdamaian Kairo Sabtu lalu (21/10), Baerbock berbicara tentang penderitaan dan kekhawatiran yang dihadapi warga di kawasan. “Di seluruh wilayah ini, kami melihat kesedihan dan ketakutan yang sangat besar,” katanya.
Annalena Baerbock memaparkan pandangan pemerintah Jerman tentang penyulut situasi ini: “Hamas-lah yang melakukan teror mengerikan terhadap Israel pada tanggal 7 Oktober, dengan melakukan kejahatan yang keji.” Dalam jangka pendek, kata Baerbock, prioritas Jerman adalah meringankan penderitaan manusia di Jalur Gaza. Untuk mencapai tujuan ini, Jerman langsung meningkatkan bantuan kemanusiaannya ke Gaza sebesar 50 juta euro.
Pada hari Senin (23/10), lembaga PBB untuk Pengungsi Palestina di Timur tengah, UNRWA, melaporkan lebih dari 400.000 pengungsi internal berada di tempat-tempat penampungan. Komisaris PBB di UNRWA Philippe Lazzarini memperingatkan, bahan bakar untuk fasilitas UNRWA akan habis dalam beberapa hari, sehingga orang-orang yang berlindung di lokasi-lokasi UNRWA akan kehabisan air.
Peter Lintl, peneliti Afrika Utara dan Timur Tengah di Institut Urusan Internasional dan Keamanan Jerman SWP yang berbasis di Berlin, mengatakan Jerman hanya dapat memainkan peran terbatas dalam mediasi. Misalnya “Jerman dapat berperan sebagai pendukung” dalam negosiasi tentang sandera.
Lintl mengatakan, Jerman kemungkinan tidak akan mampu memberikan banyak dukungan karena satu alasan sederhana: “Jerman tidak berbicara dengan Hamas.” Namun, Jerman mungkin bisa membantu mengatur bantuan kemanusiaan ke Jalur Gaza.
Lintl mengatakan beberapa pemerintah Arab skeptis terhadap kebijakan luar negeri Jerman. Di banyak negara Arab, kata Lintl, “orang-orang mengamati politik ini dengan penuh keraguan. Terlebih lagi, negara-negara Barat, termasuk Berlin, menganggap kecaman terhadap Hamas dan pengakuan hak Israel untuk membela diri sebagai syarat untuk negosiasi.”
Terutama pernyataan Annalena Baerbock, bahwa Israel telah menjadi korban “serangan teroris… dari Gaza” dan memiliki hak untuk membela diri membangkitkan skeptisisme di Arab. “Tetapi, pada saat yang sama, ada kemauan pragmatis untuk bekerja sama jika memungkinkan,” ungkap Peter Lintl.
Rangkaian pembicaraan yang diadakan Annalena Baerbock pada akhir pekan disertai dengan berbagai aksi solidaritas. Pada Jumat lalu (20/10), ribuan orang turun ke jalan di Kairo, Amman, Beirut dan Bagdad untuk menunjukkan dukungan mereka terhadap warga Palestina di Jalur Gaza.
Sejak 7 Oktober, kekerasan di Tepi Barat yang diduduki Israel juga telah meningkat, dengan lebih dari 90 warga Palestina terbunuh, sebagian besar oleh tentara dan pemukim Israel, menurut Kementerian Kesehatan Palestina dan kelompok hak asasi manusia.
Simon Wolfgang Fuchs, profesor di Universitas Ibrani Yerusalem, kepada DW mengatakan, keputusan pemerintah di negara-negara Arab dipengaruhi oleh kesan bahwa negara-negara Barat mendukung Israel tanpa kritik dan tanpa syarat. “Di banyak tempat, politisi (Arab) yang bekerja sama dengan negara-negara Barat kini berada di bawah banyak tekanan,” katanya.
Peter Lintl mengatakan, tujuan Israel adalah mengakhiri kekuasaan Hamas, yang oleh UE, Jerman, AS, dan beberapa negara lain ditetapkan sebagai organisasi teroris. “Mediasi apa pun (dengan Hamas) akan bertentangan dengan tujuan ini,” katanya.